Rajutan Asa Anak Alam Siandau Oleh Mutma Inna Laintang



Saya Mutma Inna Laintang, seorang relawan “Komunitas Jendela Nusantara” atau dikenal dengan sebutan KJN yang bergerak dalam bidang pendidikan tertinggal di pelosok negeri khususnya di daerah Kalimantan Utara. Tulisan ini hanya coret-coretan, mungkin lebih tepatnya ketik-ketikan saya tentang sebuah perjalanan mengatasnamakan pengabdian demi pendidikan.

Perjalanan kali ini, perjalanan mengarungi laut menggunakan speedboat ke tempat target KJN. Tempat yang tidak tau bagaimana keadaannya dan sejauh apa jarak yang akan ditempuh di tengah lautan dalam keadaan berawan. Siandau, ya itu adalah nama dari sebuah desa yang akan menjadi tempat pengabdian selama sepuluh hari. Menurut info yang diperoleh dan dari hasil survey yang dilakukan, anak-anak di Siandau jarang bersekolah, sehingga terpaksa harus pindah ke daerah lain untuk bersekolah. Itu bagi yang mampu, bagi yang tidak, mereka hanya bertahan mengharap pagi demi pagi ada guru yang datang setiap hari sehingga anak-anak mereka bisa bersekolah senin hingga sabtu seperti anak yang lainnya.

Lima belas menit speedboat dengan kekuatan dua mesin melaju membelah laut yang berombak, mengejar waktu jangan sampai turun hujan di perjalanan. Tidak lama kemudian relawan KJN yang telah lebih dulu melakukan survey berteriak “Itu tempatnya.. Welcome to Siandau”. Sembilan relawan wanita yang berada dalam speedboat pun menatap kearah sebuah perkampungan di atas laut, dermaga yang panjang dan rumah-rumah panggung yang berkisar antara lima belas hingga dua puluh rumah. Terlihat beberapa “acil dan paman” (cara kami memanggil ibu-ibu dan bapak-bapak di sana) juga anak-anak kecil yang membawa gerobak khas berupa papan tanpa roda yang ditarik di atas jembatan kayu, berjalan ke ujung dermaga menyambut kedatangan kami. Selamat datang teman-teman semua, selamat mengabdi, disinilah tempat kita akan membagi ilmu dan saling melengkapi. Siandau …

Kami sampai di Siandau sekitar pukul sepuluh, seharusnya anak-anak belum waktunya pulang sekolah, namun di tempat kami tinggal berkumpul anak-anak yang pastinya masih duduk di Sekolah Dasar. Benar saja, ternyata mereka tidak sekolah hari ini. Orangtua mereka menyampaikan bahwa anak-anak mereka jarang bersekolah, tiga hari sekolah tiga bulan libur sekolah. Pada hari itu kami menyampaikan maksud kedatangan kami dan warga menyambut dengan gembira bahwa anak-anak mereka akan bersekolah walaupun kehadiran kami hanya sepuluh hari saja. Orang tua dari anak-anak di Siandau memiliki semangat tinggi untuk mencerdaskan anak-anaknya. Dengan mata pencaharian sebagai petani rumput laut, terkadang harga jual mencukupi kebutuhan sehari-hari namun tak jarang harga anjlok dan membuat rugi besar petani rumput laut.

Memindahkan anak-anak mereka ke kota terdekat dengan Siandau yaitu Kota Tarakan merupakan pemikiran yang harus dipikirkan berulang kali, karena mereka hidup dengan keadaan pas-pasan dan tidak mungkin jika harus menambah beban kehidupan di kota. Jadi, mereka hanya pasrah menyekolahkan anak-anaknya di SDN 010 Siandau. Berharap esok hari berubah menjadi lebih baik, berharap keajaiban bahwa guru akan hadir setiap hari mengajari anak-anak mereka. Jika mereka sekolahpun, anak-anak hanya bersekolah dari jam delapan sampai jam sembilan pagi. Satu guru, satu ruangan, delapan belas siswa untuk enam jenjang kelas Sekolah Dasar. Keadaan yang sangat memprihatinkan dan semakin membakar semangat kami untuk segera mengajak adik-adik kecil ini belajar dan bermain membangkitkan kembali persepsi positif mereka terhadap kegiatan sekolah, kembali membentuk pikiran mereka bahwa sekolah itu menyenangkan dan mereka tidak boleh putus sekolah, karena segalanya berawal dari pendidikan.

Senin pagi yang cerah, para relawan tidak mau kalah semangat untuk lebih dulu datang ke sekolah. Saya juga dengan riang melangkahkan kaki ke sekolah yang hanya berjarak kurang lebih dua puluh meter dari Balai Pertemuan Umum yang menjadi tempat tinggal kami. Namun, belum ada anak-anak di sekolah. Saya dan relawan yang bertugas pagi itu berinsiatif untuk menjemput satu persatu anak-anak di rumah mereka. Ternyata mereka sudah siap dengan seragam lengkap untuk ke sekolah, mereka hanya malu untuk memulai hari ini. Anak-anak manis dengan pupur yang tebal dan rambut yang masih basah. Anak-anak polos yang seharusnya menikmati pendidikan di Negara yang katanya merdeka. Tapi untuk pendidikan di tingkat dasar saja mereka belum memperoleh kemerdekaan. Saya menggenggam tangan mereka, meyakinkan bahwa hari ini dan seterusnya akan menyenangkan, tidak perlu malu, karena mereka kami ada disini. Satu persatu anak-anak kami kumpulkan di sekolah. Yah, terkumpul delapan belas orang anak dengan seragam merah putih, kecuali seorang anak bernama Japai yang menggunakan seragam cokelat dan itu bukanlah seragam sekolah.

Kami memulai hari dengan berdoa, memperkenalkan diri kami dan sebaliknya kami mendorong anak-anak untuk percaya diri berbicara di depan walau hanya sepatah dua kata. Hal lain yang sedikit disayangkan adalah mereka tidak menghapal lagu kebangsaan dengan baik dan tidak mengetahui siapa presiden beserta wakilnya. Apakah ini balasan berupa sikap tidak peduli dari mereka untuk tidak mau menghapalkan lagu kebangsaan dan wawasan kebangsaan lainnya? Jelas tidak, mereka punya segudang pertanyaan mengenai bangsa ini, mereka juga masih meluangkan tempat di hati dan pikiran mereka untuk bangsa ini. Tapi tidak ada yang membimbing mereka, seperti itulah keadaan mereka. Kewajiban kami para relawan adalah memulai setiap kegiatan dengan do’a dan dilanjutkan dengan lagu kebangsaan, anak bisa karena biasa, hal itulah yang kami tanamkan. Setidaknya sepuluh hari kami disini bisa berarti selamanya untuk anak-anak.

Dalam kegiatan ini kami di dampingi oleh seorang guru yang mendampingi karena adanya kegiatan yang kami lakukan di sekolah mereka. Dari beliau lah kami mengetahui lebih banyak kisah memilukan tentang pendidikan di SDN 010 Siandau. Selama ini beliau juga telah berjuang untuk memajukan pendidikan di Siandau, namun tidak ada yang bisa dilakukan. Sedih rasanya, hanya berjarak lima belas menit dari sebuah kota, ada tempat yang anak-anaknya hanya memiliki kesempatan beberapa hari dalam sebulan untuk bersekolah. Apa yang mereka lakukan sehari-hari? Mereka anak pesisir, mereka adalah perenang handal. Menerjang ombak, melompat kedalam laut itu hanya seperti satu ditambah satu sama dengan dua. Mereka adalah atlit renang alam Siandau. Namun tetap saja, mereka membutuhkan pendidikan, pendidikan dasar untuk masa depan mereka. Wajah polos mereka selalu menemani detik demi detik saya berada disana. Sepulang sekolah, mereka datang lagi untuk membaca dan mewarnai di tempat kami yang memang telah kami siapkan untuk mereka. Bermain boneka, mendengarkan dongeng, mempelajari apa yang belum mereka ketahui dan bercerita tentang impian mereka. Kami berusaha membuat setidaknya sepuluh hari mereka bersama kami lebih berwarna. Dengan melakukan senam yang jelas tidak pernah mereka lakukan, belajar upacara bendera, menerbangkan balon warna warni, menggunakan media pembelajaran yang menarik diselingi permainan menarik, membagikan hadiah, membagikan pakaian yang sesuai dengan mereka, menuliskan cita-cita mereka lalu menggantungkannya di pohon impian.

Ada lima macam cita-cita dari kedelapan belas anak-anak Siandau. Pertama Pilot, mereka ingin menjadi pilot karena setiap hari pesawat terbang rendah diatas desa mereka yang akan mendarat di bandara Juwata Tarakan. Kedua guru, cita-cita ini dimiliki oleh hampir semua anak perempuan. Mereka ingin menjadi guru, ingin mencerdaskan bangsa, tidak seperti keadaan mereka saat ini. Cita-cita lainnya adalah TNI, Dokter dan Polisi.

Hari berganti hari, semangat anak anak ini tidak pernah ada habisnya, pagi bersekolah, siang belajar membaca, mewarnai dan menari di balai, sore berenang hingga petang menjelang, malam kembali menemui kami di balai. Mereka haus akan ilmu, kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dengan baik. Mereka menanyakan segala hal yang tak sempat ditanyakan kepada guru yang tak kunjung datang ke sekolah. Para relawan juga tidak kalah semangat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan membantu bagi mereka yang belum paham dalam pelajaran tertentu. Kesempatan ini benar-benar digunakan secara maksimal oleh relawan dan anak-anak untuk memberi dan menerima wawasan baru.

Di penghujung waktu pengabdian kami, anak-anak selalu bertanya “Ibu.. Bapak, kapan pulang ? Jangan pulang ya. Kalau pulang kapan kembali lagi ?” kami hanya menjawabnya dengan senyuman. Namun, di dalam hati ini mulai menyadari kenyataan bahwa waktu semakin menipis. Tidak boleh ada kesedihan, yang boleh ada hanya semangat dan semangat.

Senin 16 Februari 2016, ini adalah hari terakhir pengabdian kami. Namun sebelum pulang, masih ada kegiatan akhir, upacara perdana SDN 010 Siandau akan segera kami laksanakan. Petugas upacara yang sudah dilatih, lagu Indonesia Raya yang selalu dinyanyikan setiap hari, Pancasila yang telah diselipkan di sela-sela pelajaran, lagu-lagu wajib Indonesia dan Japai si hitam manis perenang handal Siandau telah mengenakan seragam putih merah yang kami berikan padanya. Bendera kelas yang kami bawa ke lapangan, keadaan upacara yang seadanya namun penuh khidmat. Pertama kalinya anak-anak Siandau menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan sang saka merah putih. Bergetar hati ini melihat anak-anak yang menyanyikan Indonesia Raya di bawah terik matahari dengan tetap menatap tajam bendera merah putih. Upacara perdana ini sukses, artinya kegiatan terakhir telah berakhir. Semangat anak-anak hebat Siandau yang membuat semua kegiatan dalam sepuluh hari sukses. Upacara pun dibubarkan.

Namun, ada yang berbeda. Tidak ada keceriaan di wajah mereka. Saat saya menyalami mereka untuk terakhir kalinya pada hari itu, terlihat mata anak-anak yang memerah bahkan sudah banyak yang menangis. Anak laki-laki yang biasa penuh semangat terduduk lemas di pinggir lapangan. Lalu saya mendatanginya dengan berusaha tegar menatap wajah mereka, saya pesankan kepada mereka untuk tetap rajin belajar jangan sampai putus sekolah, selalu semangat dan kita pasti akan bertemu kembali. Anak laki-laki tertua, Edi menjawab “kembali lagi ya bu” dengan wajahnya yang lesu. Seorang anak laki-laki mengusap wajah berpupurnya yang luntur karena air mata, ia adalah Roni. Anak didik saya, di kelas dua. Seketika Japai, melompat dan memeluk saya erat sambil menangis dan berteriak “Ibu jangan pulang, saya tidak mau ibu pulang”. Anak-anak yang lain semakin keras menangis dan memeluk relawan yang lain. Di saat itulah pertahanan ketegaran saya hancur seketika. Teriris rasanya melihat anak-anak ini, mereka yang sangat merindukan kehadiran pendidik, pembimbing dan pengajar di sekolah. Entah, sepulang kami dari desa ini apa yang mereka lakukan. Semoga, sepuluh hari kami di desa ini benar-benar berarti untuk selamanya bagi mereka.

Pada akhirnya, kami harus berpisah, anak-anak mengantar kami sampai di tempat speedboat yang menjemput kami bersandar. Semua warga mengiringi jalannya speedboat kami dengan lambaian tangan dan sesekali mengusap air mata. Bahkan ada yang berlari mengejar kami hingga ujung dermaga dan kata-kata yang tak terduga dari seorang anak, Edi. Ia berteriak “Terima Kasih KJN” sambil melambaikan tangannya. Di sepanjang perjalanan ombak besar menyambut seperti perasaan kami yang terkoyak menahan kepiluan meninggalkan anak-anak Siandau. Sunyi mengiringi kepulangan kami, tidak ada yang mampu berkata. Terima kasih Siandau, satu lagi pengalaman sepuluh hari tak terlupakan. Pengalaman tentang anak-anak yang merindukan pendidikan di sekolah dasar. Anak-anak yang haus akan ilmu. Anak-anak dengan semangat besar melebihi anak-anak yang terpenuhi kebutuhannya. Mereka adalah anak-anak alam, perenang handal Siandau. Suatu saat, pertemuan itu akan terjadi lagi, disaat semua dengan keadaan lebih baik, harus lebih baik.

Catatan :
  • Ucapan terima kasih kepada Allah SWT yang telah melancarkan kegiatan kami tanpa kendala berarti.
  • Terima kasih kepada bapak Roy dan mama Mia yang sudah mendoakan, mengijinkan dan memberi restu anakmu ini ke daerah-daerah pedalaman.
  • Terima kasih kepada KJN yang telah mewadahi saya khususnya untuk memperoleh pengalaman mahal seperti ini.
  • Terima kasih kepada 12 relawan lain yang telah memberikan rasa nyaman, kekompakan dan kerjasama yang luarbiasa dalam 10 hari. Salam satu sarden bertiga belas ! Salam racun nyamuk! Salam layang-layang! Salam geng pencari tudai! Salam geng tiram! Salam gantung hp cari sinyal! Salam sayang untuk kalian semua…
  • Terima kasih kepada paman dan acil yang dengan ikhlas memberikan airnya untuk kami mandi, masak dan mencuci walaupun jarang turun hujan, mengurus tiga belas orang anak semoga kebaikan paman dan acil dibalas oleh Allah SWT.
  • Terima kasih lagi kepada paman yang selalu membagikan hasil lautnya sebagai lauk kami bertigabelas, untuk acil yang selalu sedia meminjamkan peralatan dapur, ambal dan bantal untuk kebutuhan kami.
  • Terima kasih kepada seluruh warga Siandau yang membuatkan acara perpisahan untuk KJN.
  • Terima kasih Siandau…

Posting Komentar

0 Komentar